“Ombudsman Republik Indonesia telah menyerahkan hasilnya dan rekomendasi yang diberikan bagi Kementerian ATR/BPN juga sangat lugas di sana. PR (pekerjaan rumah) yang harus kami selesaikan untuk memperbaiki tata kelola maladministrasi (industri kelapa sawit) termasuk yang pertama adalah menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan,” ucap Ossy di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin.17/1q
Berdasarkan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik terkait Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, Ombudsman memberikan saran perbaikan mengenai perkebunan sawit rakyat agar dilepaskan dari kawasan hutan, sehingga memiliki kejelasan status Hak Atas Tanah (HAT)
Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN menegaskan domain atas 70,4 juta hektare (ha) atau 37 persen dari total kawasan darat Indonesia, sedangkan 120,4 juta ha atau 63 persen yang merupakan kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan.
“Inilah yang kemudian menjadi domain dari Kementerian ATR/BPN untuk menerbitkan Hak AtasTanah tersebut dikelola sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat Indonesia,” ujar dia.
Setelah nantinya Kementerian ATR/BPN menerbitkan legalitas HAT yang dimaksud, maka pengelolaan akan dikembalikan kepada kementerian dan lembaga teknis masing-masing. Menurut dia, upaya ini perlu melibatkan kolaborasi antar instansi agar tanah-tanah kebun sawit yang ada memiliki kejelasan status.
Dengan meniadakan ego sektoral dan mengikuti visi-misi Presiden RI Prabowo Subianto, Ossy mengajak para pemangku kepentingan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Saya yakin dengan semangat meniadakan ego sektoral, dengan semangat kita ingin mengedepankan apa yang menjadi visi dan misi Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk mengejar kesejahteraan dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, kita yakini bahwa semua permasalahan pasti ada solusinya. Tinggal sekarang bagaimana political will dari kita untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga terkait dengan rekomendasi dari (Ombudsman) tentunya akan kami tindak lanjuti permasalahan areal perkebunan sawit yang di dalam areal hutan,” ungkapnya.
Selain itu, Kementerian ATR turut mendukung rekomendasi Ombudsman terkait penyediaan data dalam kebijakan satu peta yang disebut dapat menyelesaikan permasalahan penataan tata ruang kawasan kehutanan dan non kehutanan.
“Kebijakan satu peta ini akan menjadi rujukan dari seluruh kementerian dan lembaga teknis agar ke depan permasalahan-permasalahan maladministrasi seperti ini bisa diminimalisir,” kata Ossy.
Laporan Ombudsman menemukan tiga aspek utama yang menjadi titik rentan terjadinya maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit, yakni lahan, perizinan, dan tata niaga.
Permasalahan yang paling sering ditemukan dalam aspek lahan adalah tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Permasalahan tersebut dinilai perlu diselesaikan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan HAT dan pengakuan hukum lainnya. (wan/ar)