HeadlinePeristiwa

Kisah Perjalanan Terakhir Pendiri Karomah Pancer Bumi H. Choirullah Supriyo Tjahyo Rahardjo bin Mustofa

473
×

Kisah Perjalanan Terakhir Pendiri Karomah Pancer Bumi H. Choirullah Supriyo Tjahyo Rahardjo bin Mustofa

Sebarkan artikel ini

 

Hari itu, Rabu 14 Mei 2025, adalah hari biasa bagi dunia, namun istimewa bagi langit. Sebab hari itu ditakdirkan menjadi akhir perjalanan duniawi seorang hamba pilihan—sang pendiri karomah ilmu PANCER BUMI, seorang guru ruhani, Abah H. Choirullah Supriyo Tjahyo Rahardjo bin Mustofa.

Seperti hari-hari sebelumnya, Abah Choirul—demikian beliau akrab disapa—menjalani aktivitas tanpa keluhan. Dari Magersari, Sidoarjo, beliau melangkah ke Surabaya pukul dua belas siang. Di kota itu, beliau mengisi waktu dengan mengunjungi kerabat dan sahabat-sahabatnya, menjalin kasih silaturahmi yang tak pernah ia anggap sepele. Setiap pertemuan, setiap pelukan, setiap senyuman hari itu seolah menjadi perpisahan tak terucap.

Pukul delapan malam, beliau kembali ke rumah. Dengan senyum kelelahan bercampur ketenangan, beliau menyerahkan uang hasil berjualan kepada istri tercinta, Hartatik—yang tengah menderita penyakit gula hingga harus kehilangan beberapa jari kaki. Abah tak pernah mengeluh, bahkan kepada istri yang sedang sakit, beliau tetap menjadi penopang, pelindung, dan cahaya.

Setelah mandi dan menunaikan salat Isya, Abah Choirul duduk tenang, membuka tirai jendela. Seketika, beliau terdiam. Di balik kaca jendela, hadir sosok besar, gaib, tak terdefinisi—namun tak membuatnya takut. Wajahnya teduh. Ia berserah, pasrah, seolah tahu bahwa perjalanan ini telah mendekati akhirnya.

Kemudian beliau duduk santai di ruang depan tempat biasa beliau menyendiri. Rokok pun disulut, namun tiba-tiba tubuhnya terguncang batuk hebat. Saat berdiri, tubuh beliau mengeluarkan kotoran berwarna hijau tua. Tak satu pun keluh terlontar. Yang ada hanya kalimat:

“Ya Allah… ampuni hamba… Ya Allah… ampuni hamba… Allah… Allah…”

Sambil memutar tubuhnya tiga kali perlahan, beliau tetap memuji asma Ilahi. Dalam keadaan lemah, beliau membersihkan dirinya sendiri. Istrinya, yang menangis penuh ketakutan, memanggil dengan lirih:

“Abah… abah kenapa? Jangan nakuti saya… Saya ini sakit, Abah… saya takut…”

 

Dengan suara lembut, Abah Choirul menjawab:

“Tidak apa-apa, istriku…”

 

Tetangga berdatangan, mengusulkan agar beliau dibawa ke rumah sakit atau dipanggilkan dokter. Namun dengan tenang, beliau menolak—seakan tahu bahwa panggilan yang datang bukan dari dunia ini.

 

Dalam keadaan sarung yang telah kotor, beliau menyilangkan sendiri kainnya. Duduk dengan tenang. Lalu suara takbir lirih keluar dari mulutnya.

“Allahu Akbar…”

Tubuhnya perlahan menyandar.

Dan ruhnya pun terangkat, tanpa rintih, tanpa keluh. Hanya damai. Hanya takbir. Hanya asma Allah yang menggema dalam ruang itu.

Istri beliau menelpon anak-anak mereka. Tak lama, ketiga anak dari Surabaya tiba. Isak tangis menyambut tubuh mulia itu. Tapi tak hanya duka—ada cahaya yang terasa menyelimuti rumah. Ada wangi yang tak dikenal, tapi menenangkan. Rumah itu bukan sekadar rumah duka—ia menjadi saksi kembalinya seorang wali kecil ke pelukan Tuhan-nya.

Sang Abah telah kembali. Tapi warisannya abadi: ilmu, kasih, dan keteladanan sebagai seorang sufi pejuang, ayah yang penyayang, guru yang tawadhu, dan pendiri ajaran karomah PANCER BUMI yang kini mengalir dalam jiwa murid-muridnya.

(HMWR/AT)