Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Senin 10/9 mengungkapkan bahwa rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam menerapkan kemasan polos bagi produk tembakau akan berdampak langsung pada negara, terutama dari sisi perekonomian, di mana sejauh ini cukai hasil tembakau (CHT) diklaim telah menyumbang hingga Rp300 triliun terhadap negara.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang. Rokok menyumbang Rp300 triliun kepada negara setiap tahunnya, itu sangat signifikan untuk anggaran nasional kita,” ujar Misbakhun.
Ia pun mempertanyakan bagaimana kebijakan kemasan polos itu bisa dipertimbangkan untuk masuk dalam RPMK. Padahal secara jelas kebijakan tersebut mengabaikan kepentingan petani dan pedagang yang bergantung pada industri hasil tembakau.
Ia pun mengkritisi bagaimana penggodokan kebijakan tersebut menjadi bentuk dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau. Misbakhun mempertanyakan pihak yang mendorong kebijakan sarat polemik tersebut.
Misbakhun melanjutkan bahwa Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan seharusnya berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, segala macam roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau.
Seperti diketahui, petani tembakau dan pedagang kecil adalah bagian dari ekosistem ekonomi kerakyatan yang sejatinya membutuhkan dukungan dan kehadiran pemerintah agar dapat terus bertahan.
Sedangkan dari porsi anggaran, kalangan petani tembakau dan cengkih, misalnya, tidak pernah diberi alokasi secara khusus oleh pemerintah untuk membantu perkembangan ekonomi mereka. Tidak ada insentif maupun subsidi untuk pupuk atau pestisida yang bisa digunakan petani tembakau untuk bisa membantu kesejahteraan petani.
Menurut Misbakhun, kebijakan kemasan polos tanpa merek yang diusulkan pun tidak akan efektif dalam mengurangi konsumsi rokok. Pasalnya, beragam data berdasarkan pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan kemasan polos tidak berpengaruh dalam mengurangi konsumsi rokok.
Justru, kata dia, hal tersebut akan mendorong peredaran rokok ilegal yang tidak terdata dan merugikan negara dari penerimaan cukai produk legal.
Lebih lanjut, ia menilai rencana untuk menghilangkan merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos menjadi wacana yang tidak rasional. Pasalnya, menghapus merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos yang seragam dan generik akan membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi semakin sulit.
“Bea Cukai tidak dirancang untuk menangani masalah ini. Standardisasi kemasan polos mungkin bagus untuk perdebatan, tetapi kurang efektif jika diterapkan secara langsung tanpa dukungan yang jelas,” ujarnya.
Apalagi, menurut dia, selama ini kampanye kesehatan tidak pernah berhasil secara signifikan membantu para perokok untuk berhenti. Jika pemerintah terus menggunakan cara yang sama tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan penegakan hukum, ia mengkhawatirkan yang terjadi hanya meningkatnya rokok ilegal dan kerugian negara yang lebih besar.
Oleh sebab itu, Misbakhun menegaskan perlunya pendekatan yang berimbang dalam kebijakan tembakau, yang juga turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan tata kelola yang baik.
“Puluhan tahun kita mencoba cara yang sama. Kenapa kita masih menggunakan hal yang sama? Cara yang sama tetapi ingin hasilnya berbeda. Akhirnya yang terjadi itu adalah rokok ilegal dan ini disangkal sepenuhnya oleh pemerintah. Maka dari itu menurut saya, PP yang membatasi ini, ini tidak bagus di sektor industri dan ekonomi,” tuturnya. ( wa/ar)