HeadlineOpiniPemerintahan

Quo Vadis 27 Tahun Reformasi Politik : Demokrasi Berbiaya Tinggi, Miskin Kualitas

242
×

Quo Vadis 27 Tahun Reformasi Politik : Demokrasi Berbiaya Tinggi, Miskin Kualitas

Sebarkan artikel ini

Jakarta – analisapublik.id, Tahun 1971, Orde Baru menggelar pemilu pertamanya. Pemilu itu disebut paling “demokratis” oleh rezim, padahal faktanya hanya mengukuhkan dominasi Golkar dengan kontrol ketat negara. Rakyat dipaksa memilih tanpa benar-benar bebas.  Dua puluh delapan tahun kemudian, tahun 1999, Indonesia melaksanakan pemilu pertama era reformasi. Euforia kebebasan politik terasa : puluhan partai tumbuh, rakyat bergembira karena hak suara tak lagi dikendalikan penguasa. Saat itu banyak yang percaya, demokrasi Indonesia akan lebih sehat, substantif, dan bermakna.

27 tahun reformasi, kita dihadapkan pada realitas pahit. Demokrasi memang masih berjalan: pemilu rutin, partai politik bebas berdiri, rakyat bisa memilih. Namun, kualitas dan substansinya merosot tajam. Demokrasi kita berbiaya tinggi, tetapi miskin ide, miskin kader, dan miskin integritas.

Memasuki usia 27 tahun era reformasi, Sekretaris Jenderal Lembaga Pemantau Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), Abdul Rasyid, menilai demokrasi Indonesia masih dihadapkan pada persoalan serius, terutama politik berbiaya mahal, praktik transaksional, dan lemahnya kualitas pejabat publik. Hal itu disampaikannya dalam wawancara khusus bersama wartawan analisapublik.id.

Reformasi Belum Tuntas

Menurut Abdul Rasyid, disela-sela rapat tahunan DPD LPKAN Indonesia Provinsi Jawa Timur, bahwa reformasi 1998 yang digulirkan sebagai koreksi terhadap praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di era Orde Baru, hingga kini belum mampu sepenuhnya mengikis budaya korupsi. Bahkan, praktik korupsi di era sekarang justru menimbulkan kerugian negara dalam skala lebih besar.

> “Kalau di era Pak Harto ditutup dengan KKN, skalanya masih terbatas. Sekarang justru kerugian negara mencapai ratusan triliunan rupiah, contohnya kasus tambang. Inilah yang harus menjadi evaluasi kita bersama,” ungkap Abdul Rasyid.

Politik Dinasti dan Kualitas Legislatif

Ia juga menyoroti lahirnya praktik politik dinasti, di mana jabatan publik sering kali diwariskan karena faktor finansial, bukan kapasitas. Kondisi ini, lanjutnya, berdampak pada menurunnya kualitas eksekutif maupun legislatif. “Dulu ada tokoh-tokoh yang meski hanya lulusan SMA, tapi matang karena ditempa gerakan dan aktivisme. Sekarang, banyak pejabat lahir karena kekuatan uang dan dinasti politik, sehingga minim pemahaman tentang kebutuhan rakyat,” jelasnya.

Biaya Pilkada dan Pemilu Tinggi

Abdul Rasyid menekankan bahwa mahalnya biaya politik menjadi masalah utama yang harus dibenahi. Pilkada maupun Pemilu legislatif kerap menjadi ajang jual beli suara sehingga tidak menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kalau legislatif sebagai lembaga pengawas eksekutif dibawah standar kualitas dari yang diawasi, lantas produk dan kebijakan apa yang menjadi jaminan terkait produk pengawasan dalam hal ini terkait Politik Anggara, dan Undang-Undang maupun Peraturan Daerah dalam mewujudkan Good and clean governance (taata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, mengacu pada pengelolaan urusan publik) yang bertanggung jawab, transparan, akuntabel, partisipatif, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

> “Politik Indonesia masih demokrasi berbiaya mahal. Inilah PR besar bagi DPR dan pemerintah untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi agar politik transaksional bisa diminimalisir,” tegasnya.

Solusi: Hukuman Berat bagi Koruptor

Terkait pemberantasan korupsi, Abdul Rasyid mendukung kebijakan perampasan aset hasil korupsi. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak dipakai sebagai alat politik untuk menyerang lawan.

“Kalau tidak ingin menerapkan hukuman mati seperti di Tiongkok, setidaknya pelaku korupsi harus dimiskinkan. Harta hasil jarahan negara jangan sampai bisa dinikmati, tapi perampasan aset harus dijalankan objektif, bukan alat politik,” pungkasnya.

Harapan LPKAN
Jalan Reformasi Politik Sejati

Lalu, ke mana arah demokrasi Indonesia? Quo vadis reformasi politik kita? Jika terus dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi panggung mahal tanpa makna.
Setidaknya ada tiga langkah penting untuk membenahi arah ini:

1. Reformasi pembiayaan politik. Negara harus lebih serius mendanai partai politik dengan mekanisme transparan, agar partai tidak bergantung pada donatur besar yang menjerat mereka pada politik balas budi.
2. Penguatan kaderisasi. Partai wajib kembali pada fungsinya sebagai sekolah politik, menyiapkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas, bukan sekadar penjaga tiket pencalonan.
3. Penguatan peran masyarakat sipil. Rakyat, media, dan organisasi independen harus lebih aktif mengawasi proses politik agar demokrasi tidak dibajak oligarki.

Reformasi telah memberi kita kebebasan politik, tetapi kebebasan itu tidak otomatis melahirkan kualitas. Demokrasi yang sehat tak cukup hanya dengan pemilu, melainkan butuh integritas, gagasan, dan keberpihakan pada rakyat.

Setelah 27 tahun reformasi, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah: apakah kita rela demokrasi tetap mahal tapi miskin kualitas, ataukah kita berani berbenah menuju demokrasi substantif yang benar-benar bekerja untuk rakyat?

Sebagai Sekjen LPKAN, Abdul Rasyid berharap ke depan lembaga legislatif maupun eksekutif dapat lebih fokus pada perbaikan sumber daya manusia aparatur negara. Menurutnya, hanya dengan peningkatan integritas pejabat publik, tujuan reformasi bisa benar-benar tercapai.