SURABAYA, analisapublik.id – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tengah berpacu dengan waktu memperkuat sistem pengendalian genangan air jelang puncak musim hujan. Namun, upaya ini menghadapi ancaman nyata dan konyol: sampah rumah tangga berukuran besar, seperti sofa dan kasur, yang sengaja dibuang ke saluran air. Benda-benda ini berpotensi merusak jantung sistem drainase Kota Pahlawan, yaitu rumah pompa air.
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Surabaya, Syamsul Hariadi, menyebut kebiasaan membuang sampah sembarangan ke sungai adalah tantangan terbesar yang mereka hadapi.
“Sampah di sungai merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Sampah padat, seperti sofa, kasur, dan kayu, seringkali menyangkut di screen (penyaring) rumah pompa. Jika lolos atau menumpuk, ini dapat menyebabkan pompa terhenti dan berpotensi merusak mesin secara permanen,” terang Syamsul Hariadi saat konferensi pers di Pemkot Surabaya, Kamis (6/11/2025).
Syamsul mencontohkan, tingginya volume sampah terlihat jelas saat hujan deras terakhir. Di Saluran Greges yang mengarah ke Bosem Morokrembangan, petugas harus bekerja keras.
“Saat hujan deras terakhir, petugas berhasil mengumpulkan 20 truk sampah hingga pagi hari. Volume sampah di sana merupakan jumlah terbesar yang ditemukan, dengan variasi temuan yang sangat beragam, mencakup benda-benda rumah tangga hingga benda keras seperti helm, sofa, kasur, popok bayi, dan pakaian,” ungkapnya, menggambarkan betapa parahnya situasi ini.
Saat ini, Pemkot Surabaya memiliki 76 rumah pompa aktif dan jumlah ini akan bertambah menjadi 81 unit pada akhir tahun 2025. Penambahan kapasitas ini difokuskan di wilayah Surabaya Selatan, dengan lima rumah pompa baru yang sedang dibangun, antara lain Rumah Pompa Menanggal, Rumah Pompa Ahmad Yani, Rumah Pompa Ketintang, Rumah Pompa Karah, dan Rumah Pompa Rungkut Menanggal.
Untuk memastikan operasional berjalan optimal, seluruh rumah pompa dijaga oleh petugas selama tiga shift atau 24 jam penuh, didukung 4 hingga 8 petugas khusus penyaring sampah (penyarang) di setiap lokasi.
Meskipun terhadang sampah besar, Pemkot Surabaya mengklaim penanganan genangan dapat dilakukan cepat berkat penerapan sistem terpadu. Kunci kecepatan penanganan dimulai dari pencegahan backflow, yaitu arus balik air laut.
“Ketika terjadi air pasang, pintu-pintu air ditutup dan pompa air dioperasikan. Hal ini bertujuan untuk menghindari tabrakan antara air laut pasang dengan air hujan, yang merupakan penyebab utama genangan di wilayah pesisir,” jelas Syamsul.
Selain itu, Pemkot berpedoman pada peringatan dini BMKG. Berdasarkan informasi tersebut, semua pompa diaktifkan (pre-pumping) sebelum hujan tiba untuk mengosongkan saluran dan memaksimalkan daya tampung air hujan.
Namun, Syamsul mengakui bahwa sistem drainase masih memiliki kelemahan di wilayah tertentu. Kawasan Tanjungsari, misalnya, mengalami genangan paling lama karena belum memiliki fasilitas pengendali air lengkap seperti rumah pompa dan pintu laut.
Sementara di kawasan Tenggilis dan Margorejo, genangan terjadi akibat lokasi cekung dan adanya pekerjaan pembangunan yang belum selesai di Prapen atau Jemursari yang menghalangi pembuangan air.
Kelemahan struktural yang mendesak adalah: dari lima saluran keluar utama, baru dua yang dilengkapi pintu air, yakni Saluran Balong dan Saluran Kandangan. Tiga saluran lainnya (Saluran Kerambangan, Kalianak, dan Sememi) belum memiliki pintu laut sebagai pengendali air.
“Pembangunan fasilitas pengendali di tiga saluran tersebut telah diusulkan menjadi prioritas untuk segera dikerjakan, seiring dengan fokus pemkot saat ini di wilayah Selatan,” pungkasnya, menandakan PR besar yang harus segera dituntaskan Pemkot Surabaya.
(Res)











