Jakarta , analisapublik.id- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan,
memperkuat tata kelola pelayanan dan pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean guna mencegah penyelundupan, kebocoran penerimaan negara, serta mendukung hilirisasi sumber daya alam (SDA).

Penguatan itu telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2024.

“Peraturan ini menutup celah kebocoran penerimaan negara sekaligus mendorong perdagangan legal, yang pada akhirnya mendukung neraca perdagangan nasional,” kata Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Budi Prasetiyo, dikutip di Jakarta, Rabu.8/12

Menurut dia, PMK itu adalah langkah strategis untuk meningkatkan kepastian hukum dalam pengawasan barang tertentu yang melibatkan pengangkutan antarpulau.

Barang tertentu yang dimaksud meliputi komoditas strategis yang dikenakan bea keluar, mendapat subsidi pemerintah, atau termasuk dalam kategori larangan dan pembatasan (lartas) ekspor.

Penetapan jenis barang dilakukan melalui koordinasi lintas kementerian, termasuk Kementerian Perdagangan, sebelum disampaikan kepada Bea Cukai untuk diawasi.

Dalam pelaksanaannya, pengawasan yang dilaksanakan Bea Cukai secara umum bersifat selektif. Kantor pabean pemuatan mengawasi pemberitahuan pemuatan dan keberangkatan, sedangkan kantor pabean pembongkaran mengawasi pemberitahuan kedatangan dan pembongkaran.

Apabila terdapat sarana pengangkut yang tidak tiba di pelabuhan tujuan, maka kantor pabean pembongkaran akan meneliti keberadaan dan kondisi sarana pengangkut tersebut.

Berdasarkan PMK Nomor 50 Tahun 2024, sarana pengangkut adalah kapal yang merupakan kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Bila dalam pengawasan terdapat suatu hal yang tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya sarana pengangkut yang tidak mematuhi proses yang diatur, dapat dikenakan sanksi administrasi.

“Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan dapat diblokir. Bahkan, pengangkut yang membelokkan pengangkutnya ke luar daerah pabean dapat dijatuhi sanksi pidana,” tambah Budi.

Melalui PMK ini, semua pengajuan Pemberitahuan Pabean Barang Tertentu (PPBT) dilakukan oleh pengangkut secara elektronik. Namun apabila hal tersebut tidak memungkinkan, dapat mengajukan dokumen secara manual.

“Untuk pemeriksaan fisik hanya dilakukan dalam hal tertentu, misalnya ada laporan intelijen, ada dugaan pelanggaran, dan ada pemberitahuan yang tidak sesuai,” ujar dia.

Dia mengamini masih terdapat potensi kendala yang timbul usai pemberlakuan PMK, seperti kesadaran pemenuhan kewajiban penyampaian PPBT dari pengangkut serta sarana dan prasarana yang tersedia untuk menyampaikan PPBT. Terutama untuk sarana pengangkut yang berasal dari/menuju ke pelabuhan rakyat, mengingat kondisi geografis Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan.

Untuk itu, lanjut dia, dibutuhkan dukungan semua pihak, baik internal Bea Cukai, kementerian/lembaga lainnya, maupun pemangku kepentingan agar PMK ini dapat diimplementasikan dengan baik.

“Semoga pelayanan dan pengawasan PPBT dapat berjalan dengan optimal dan tepat sasaran, sehingga mampu mencegah kebocoran penerimaan negara, perbaikan neraca perdagangan, perlindungan SDA dalam negeri, memberikan pedoman dan petunjuk pelaksanaan, serta memberikan kepastian dan kemudahan pelayanan pengguna jasa,” tutur Budi.( wa/ar)