Surabaya, analisapublik.id – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) per Oktober 2025 yang mencapai Rp234,44 miliar bukanlah dana mengendap, melainkan bagian dari pola pengelolaan keuangan daerah yang disesuaikan dengan alur pendapatan serta kebutuhan rutin Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Wali Kota Eri Cahyadi di Kota Surabaya, Senin, menjelaskan bahwa secara garis besar pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Transfer ke Daerah (TKD) yang menjadi sumber utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Jadi anggaran ada dua. Pendapatan yang PAD murni dari kota, dan pendapatan yang turun dari pemerintah pusat. Ada bagi hasil, ada TKD, macam-macam,” ujar Wali Kota Eri Cahyadi.
Menurutnya, sebagian besar pendapatan Kota Surabaya bersumber dari PAD. Hal ini menyebabkan sejumlah proyek tidak dapat langsung dijalankan di awal tahun anggaran.
“Seperti Surabaya, itu 75 persen dari PAD asli. Yang dari pusat seperti dibuat bayar DAU (Dana Alokasi Umum). Nah berarti apa? Di setiap bulan, maka harus ada uang yang memang ada Silpa,” jelasnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, dana SILPA di Surabaya digunakan untuk kebutuhan wajib, seperti pembayaran gaji pegawai, listrik, dan air.
“Yang belanja wajib itu harus tersimpan, tidak boleh digunakan. Nilainya (listrik dan air) itu sekitar Rp400 juta sampai Rp500 juta per bulan,” katanya.
Wali Kota Eri Cahyadi menegaskan, kondisi SILPA tersebut merupakan hal yang wajar terjadi di daerah dengan dominasi PAD yang tinggi, seperti Kota Pahlawan.
“Maka dari itu, hampir semua kota besar, termasuk Surabaya, baru bisa memulai proyek di pertengahan tahun. Karena uang kita itu adalah uang PAD. Dan kita harus mempertahankan (uang) yang rutin, yang harus kita bayar setiap bulan,” pungkasnya. ( wa/ar)





